Minggu, 18 November 2012

Ayah

(sumber gambar flickr.com)

Ayah.

Ayah. Kau selalu setia memakai motor tua-mu, padahal jika kau mau, kau bisa memakai motor karismaku atau motor matic terbaru punya ibu. Tapi kau tetap setia dengan motor tuamu. Alasanmu sederhana, motor tua itu adalah warisan dari ibumu yang tidak lain adalah nenekku. Jadi kau tetap memakainya sebagai tanda penghormatan kepada almarhum ibumu.

Ayah. Kau tidak bisa marah kepada kami, jika kami punya salah, kau hanya diam. Alasanmu sederhana, karena ketika engkau kecil, kau berkata tidak pernah dimarahi ayahmu, sebab ketika kau kecil sudah menjadi seorang yatim tanpa ayah. Aku ingat saat aku kecil pernah membuat kau marah, disebabkan aku tetap menangis di kamar karena tidak diperbolehkan menonton TV. Sejak saat itu aku berjanji tidak akan membuatmu marah lagi kepadaku.

Ayah. Kau selalu bercerita kepada kami bahwa kau dulu saat kau sekolah, kau sangat pintar dan selalu juara kelas, bahkan gurumu pun menyuruh kamu untuk akselerasi. Sehingga kau lulus pendidikan SD selama 5 tahun pada waktu itu. Hal itu kau ceritakan untuk memotivasi kami agar bersekolah setinggi mungkin. Alasanmu sederhana, karena kau hanya sekolah sampai lulusan SD, disebabkan ketiadaan biaya.

Ayah. Aku mewarisi rambut hitam dan lebatmu. Aku mewarisi kulit coklatmu, namun aku tahu karena apa kulitmu menjadi coklat. Alasanmu sederhana, kulitmu menjadi coklat karena kau waktu muda pernah berdagang asongan di Jakarta untuk menghidupi dirimu.

Ayah. Ketika kita berdiskusi tentang pencak silat, kau memperlihatkan padaku beberapa jurus yang kau pelajari dahulu, namun saat aku ingin belajar pencak silat darimu, namun engkau mencegahnya. Alasanmu sederhana, engkau tak ingin aku menjadi orang yang menyelesaikan masalah dengan berkelahi.

Ayah. Kau tidak pernah mengeluh terhadap apapun, bahkan ketika kau sakit kau selalu menutupinya sehingga kami sekeluarga tidak mengetahuinya, kecuali ketika sakitmu sudah parah. Alasanmu sederhana, kau tidak ingin membuat kami khawatir kepadamu. Tapi kami ingat ayah ketika kamu beberapa tahun lalu sakit keras, bahkan kami melihat engkau sudah tidak bernafas, ibu sudah menangis sejadi-jadinya. Orang-orang sudah menyangka engkau meninggal dunia. Aku terburu buru pulang untuk melihat engkau dan menangis di sisimu. Tapi ternyata Allah masih mengembalikan engkau kepada kami, sehingga engkau masih bersama kami hingga saat ini.

Ayah. Aku ingat cerita saat kau dan ibu menikah. Kau dihampiri oleh guru ngaji ibu yang berkata kepadamu, bahwa kau sangat beruntung menikahi ibu yang pintar mengaji. Dan dilain tempat, ternyata ibu dihampiri oleh guru ngajimu dan berkata kepada ibu, bahwa ibu telah beruntung dinikahi olehmu yang pintar mengaji. Aku ingin menangis waktu itu dan ingin berkata kepada dunia, bahwa aku beruntung bisa dilahirkan oleh orang tua seperti kalian.

Ayah. Kau mengajarkan kesederhanaan, keikhlasan, tidak ambisi kekuasaan, keteladanan. Kau memang jarang menyuruh kami shalat berjamah di masjid, mungkin hanya sesekali kau menegur kami. Tapi kau selalu datang shalat berjamaah di masjid, sehingga membuat aku dan adikku berusaha belajar dan mengikuti untuk shalat berjamaah di masjid.

Ayah. Kadang aku memperhatikanmu, ketika tetangga ada yang mengadakan hajatan, kau pasti didaulat menjadi pembaca doa. Ketika pak haji yang biasa mengimami di masjid berhalangan hadir, kau pasti yang diminta untuk menjadi imam shalat jamaah kami. Hal ini membuat ku berjanji, kelak untuk menghadiahkanmu sebuah peci putih, tanda kau sudah berhaji ke tanah suci.

Ayah. Doakan aku agar bisa menjadi ayah sepertimu.

1 komentar:

  1. ceeep, cerita ini bikin nangis banget deh..
    keren! smoga ayahnya cepi sehat terus ya..

    BalasHapus

This Time for Africa

Gereja Christuskirche saat senja di Windhoek, Namibia If you get down get up, oh oh When you get down get up, eh eh Tsamina mina z...