Jumat, 12 Juli 2019

This Time for Africa

Gereja Christuskirche saat senja di Windhoek, Namibia

If you get down get up, oh oh
When you get down get up, eh eh
Tsamina mina zangalewa
This time for Africa

Lagu Shakira yang menjadi soundtrack Piala Dunia di Afrika Selatan menggema kembali di telinga saya. Jikalau menjejak Eropa merupakan salah satu impian terliar saya, maka menjejak Afrika adalah yang paling liar. Tidak pernah terbayangkan bisa diberi kesempatan untuk menjejak tanah Afrika. Kesempatan itu datang ketika saya ditugaskan untuk mengikuti Training Course dari IAEA  yakni Interregional Training Course on Safety Assessment for Radioactive Waste Management Facilities di Windhoek ibukota Namibia.
Partisipan Training Course dari berbagai negara

Mendengar nama Namibia mungkin hanya sesekali saja, apalagi mendengar nama kota Windhoek. Jujur awalnya khawatir juga, tapi setelah mencari informasi di internet sepertinya Namibia merupakan salah satu negara Afrika yang aman untuk dikunjungi. Oiya mungkin sebagai panduan seberapa aman Negara untuk dikunjungi bisa menggunakan aplikasi Safe Travel buatan Kemenlu. Beruntungnya lagi ternyata saya tidak sendirian, tetapi ada perwakilan dari BATAN sebanyak 2 orang yakni Moch Romli dan Istavara Arifin



Berfoto mengikuti pose patung Dr. Sam Nujoma, pendiri dan presiden pertama Namibia di Independence Memorial Museum
Perjalanan memakan waktu total 22 jam dengan transit selama 3 jam di Doha, Qatar. Semua akomodasi dan transportasi ditanggung oleh IAEA. Kebetulan karena dibelikan tiketnya Qatar Airways jadinya transit di Doha, sampai di Bandara Internasional Hosea Kutako Windhoek jam 10an pagi waktu setempat. Bandara ini kecil, bahkan boleh dikatakan lebih besar bandara Jogja Adi Sucipto. Namibia memang hanya berpenduduk 2 juta orang dan penduduk ibukota Windhoek hanya 200 ribuan orang. Namibia juga baru merdeka akhir tahun 1990, sebelumnya mereka merupakan salah satu provinsi dari Afrika Selatan. Pada saat saya sampai kebetulan lagi musim dingin, tapi jangan berpikiran ada salju disana. Suhu memang rendah berkisar 2 sampai 10 derajat celcius, tetapi karena iklim gurun sehingga meski dingin tidak ada salju. 
Berfoto bersama Mr. Joseph Eiman sang Course Director dari Namibia
Agenda Training Course akan berlangsung selama 5 hari dari Senin 10 Juni sampai dengan Jumat 14 Juni 2019. Kami diinapkan di Hotel Avani di pusat kota Windhoek, kota ini sendiri bersih dan teratur, tidak ada selokan terlihat karena semua saluran pembuangan berada di bawah tanah dan dijadikan satu keluar kota untuk didaur ulang yang nanti menjadi pasokan air bersih kembali. Landmark yang terkenal di kota ini salah satunya adalah Gereja Christuskirche serta Independence Memorial Museum. Taksi didaerah sini sangat unik, mereka tetap menawarkan taksi meski mereka sedang membawa penumpang, seperti angkot tapi tanpa trayek, tapi meskipun begitu kepatuhan lalu lintas mereka tinggi, banyak perempatan tanpa lampu merah dan budaya mereka yang selalu berhenti setiap ketemu perempatan, siapa yang lebih dulu sampai ke perempatan maka diberikan jalan lebih dulu. 



Jamuan makan malam oleh Bapak Eddy Basuki selaku Duta Besar Indonesia beserta Istri dan pegawai kedutaan.

Pada Kamis malam kami diundang makan malam oleh Duta Besar Indonesia untuk Namibia dan Angola. Mungkin karena jarang sekali orang Indonesia yang nyasar maen jauh jauh kesini. Disitu kita bertemu dengan Bapak Eddy Basuki selaku Duta Besar beserta istri dan para pegawai kedutaan. Awal pertemuan ini juga unik, awalnya ketika saya update status di facebook sedang berada di Namibia, ternyata ada teman saya yang mempunyai teman bekerja di Kedutaan Indonesia di Namibia. Jadi deh kita dihubungi kedutaan Indonesia. 

Quba Mosque di Windhoek

Hari jumat setelah penutupan acara Training, kami diajak berkeliling kedutaan Indonesia dan karena bertepatan dengan hari jumat, kami juga diajak untuk menuju ke Masjid terdekat yakni Quba Mosque. 

Berfoto dengan Pak Dubes di Kantor Kedutaan Besar Indonesia

Imam shalat jumat berasal dari Iran, beberapa jamaah juga menganut Islam Syi'ah ini bisa dilihat ketika mereka shalat mereka meletakkan batu kecil ditempat sujud untuk tempat dahi mereka ketika sujud. Batu ini perlambang tanah Karbala, momen dimana Sayidina Husein RA terbunuh. Namun Imam sangat moderat, ketika shalat jumat pun tidak banyak perbedaan baik ketika Khutbah maupun Shalat. Hanya beberapa warga lokal yang muslim dan ikut shalat Jumat. Beberapa diantaranya kami berkenalan dengan Elias, Muslim Uganda yang hijrah ke Namibia dan menjadi pengusaha tambang disini bahkan kami diajak ke rumahnya untuk melihat raw rock material hasil tambang beliau. 
Kunjungan ke rumah Elias

Selanjutnya kami difasilitasi untuk ikut Game Drive oleh kedutaan, ditemani Pak Taufik pegawai kedutaan yang sudah bertugas lebih dari 20 tahun di Namibia, bahkan bisa bahasa lokal Namibia. Selain Pak Taufik, kami juga ditemani Pak Hadi, orang Betawi yang sebentar lagi pensiun jadi PNS Kemenlu. Jauh bener ya ngayabnya. 

Gerbang Goche Ganas Private Nature Reserve
Pemandangan disekitar Goche Ganas

Menikmati pemandangan Goche Ganas
Kami diajak ke Goche Ganas Private Nature Reserve, semacam kawasan yang luasnya 6000 hektar dan diisi dengan hewan liar, namun tenang saja tidak ada kucing besarnya. Disini juga tersedia penginapan serta restoran. 

Mobil yang dipakai untuk Game Drive berkapasitas penumpang 10 orang diluar supir
Persiapan berangkat Game Drive









Dan model bisnis seperti ini lazim di Namibia, mereka berlomba lomba membeli ribuan hektar tanah yang dipagari sekelilingnya lalu ditaruh hewan liar seperti Jerapah, Springbok, Babi hutan, bahkan Badak putih. Para hewan tersebut mencari makan sendiri dan pemiliknya tinggal mengadakan Game Drive sejenis safari kecil kecilan dengan target turis asing, kisaran seorangnya bisa 400an Dollar Namibia atau sekitar 400.000 rupiah per orang. Model bisnis yang menguntungkan sepertinya, apalagi hewannya disuruh cari makan sendiri. 
Atraksi utama menikmati cemilan sambil melihat Badak putih dari dekat

Badak Putih dan teman temannya
Di sepanjang perjalanan kami menyaksikan berbagai macam hewan liar seperti Jerapah, Zebra, Springbok dan banyak lagi. Lama perjalanan sekitar 2 jam dimulai jam 4 sore sampai matahari terbenam. Salah satu pengalaman menyenangkan selama di Namibia, merasakan langsung "Safari" di alam terbuka. 

Selesai Game Drive kami dijamu makan malam di restoran cina, untuk pertama kalinya kami ketemu nasi yang mirip dengan di Indonesia. Sambil mengobrol dan diskusi seputar Namibia serta berbagi pengalaman kami menutup malam itu dengan kekenyangan. hehehe. Terima kasih pegawai kedutaan yang baik baik.

Akhirnya selesai sudah seminggu saya di Namibia, semoga sharing pengalaman ini menambah pengetahuan dan wawasan. keknya postingan ini banyak bangat fotonya ya, abisnya sayang kalo ga dimasukin.  By the way, seharusnya saya buat postingan Japan Part 2 hahahaha, tapi memang kalau nulis itu nyari moodnya susah. Salam.
 _____________________________________________________________________________
"Difficult roads often lead to beautiful destinations."

1 komentar:

This Time for Africa

Gereja Christuskirche saat senja di Windhoek, Namibia If you get down get up, oh oh When you get down get up, eh eh Tsamina mina z...