"As I have said so many times, God doesn't play dice with the universe."
Hal itu diungkapkan Einstein dalam perdebatan awal tentang mekanika kuantum dengan Neils Bohr dan muridnya Heisenberg. Ketika berbicara mekanika kuantum maka kita berbicara tentang kemungkinan, probabilitas, kebolehjadian dan ketidakpastian. Salah satunya adalah ketidakpastian tertentu bahwa partikel itu tidak tepat berada pada posisi yang eksak. Hal ini dikenal dengan prinsip ketidakpastian Heisenberg. Prinsip ini menjelaskan ketidakpastian pengukuran posisi dan momentum. Sederhananya, ketika kita mengukur posisi elektron maka kita tidak bisa mengukur momentum pada saat yang bersamaan. Begitu juga sebaliknya ketika kita mengukur momentum elektron maka kita tidak bisa mengukur posisi pada saat yang bersamaan. Maka para eksperimentalis harus memilih apakah posisi ataukah momentum yang ingin dihitung? Karena mereka tidak dapat menghitung keduanya secara bersamaan. Ketidakpastian inilah yang didebat Einstein. Menurut Einstein hukum alam harus deterministik, bukan sebuah probabilitas apalagi ketidakpastian.
Namun kita tidak akan masuk dalam perdebatan tersebut, yang menjadi perhatian untuk dijadikan pelajaran adalah bahwa dalam hidup adakalanya kita tidak bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Ketika saat itu datang, maka saat itulah kita dihadapkan pada sebuah pilihan. Karena masa depan adalah misteri, apakah nanti kita bersenang hati ataukah bersusah diri akibat pilihan yang menjadi konsekuensi.
Suatu ketika, ada seorang yang memilih melarikan diri akibat membunuh seorang Qibti, Ia menjadi buronan sang raja, hingga ia pergi menghindari kejaran dengan berkelana. Menjalani nasib sebagai pelarian, kelaparan, tanpa perlindungan itu semua konsekuensi sebuah pilihan. Ia memang menyesali dan bertaubat atas pembunuhan. Lantas apakah ia menyesal dan berkeluh kesah karena pilihannya untuk melarikan diri? Tidak! Ia tidak menyesali pilihannya melarikan diri, meski ia kepayahan dan ditimpa kelaparan. Ia memilih berdoa, yang doanya diabadikan sepanjang zaman didalam al-Qur'an.
"Rabbi, inni lima anzalta ilayya min KHAIRIN faqiir; Ya Tuhanku sesungguhnya aku sangat memerlukan KEBAIKAN yang Engkau turunkan padaku."
(Q.s. Al-Qashash [28] : 24)
Dialah Musa alaihisalam, yang berdoa sederhana. Yakni meminta kebaikan. Doa inipun diijabah Tuhan. Kebaikan pun dianugerahkan Tuhan berupa makanan, pekerjaan, pernikahan dan bahkan kerasulan. Lihatlah bagaimana Musa alaihisalam mengajarkan kita menyikapi konsekuensi sebuah pilihan.
Seperti doa panjang dan indah yang disyariatkan dan diwariskan kepada kita ketika kita menghadapi pilihan diantara ketidakpastian. Apapun yang nantinya menjadi pilihan, hajatkan dalam diri untuk berdoa meminta kebaikan.
"Ya Allah dengan ilmu-Mu aku mohon dipilihkan, dengan kekuasaan-Mu aku mohon ditetapkan. Dan aku memohon sebagian dari karunia-Mu yang Agung. Sesungguhnya Engkau yang berkuasa, sedangkan aku tidak memiliki kekuasaan, Engkau mengetahui, sedangkan aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha Mengetahui hal-hal yang ghaib. Ya Allah apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini, baik untukku, baik untuk urusan agamaku, baik untuk urusan kehidupanku dan baik akibatnya untukku. Maka takdirkankah untukku, mudahkanlah urusannya, dan berkahilah aku di dalamnya. Dan jika Engkau mengetahui (sesungguhnya Engkau Maha Tahu) bahwa urusan ini tidak baik untukku, tidak baik untuk urusan agamaku, tidak baik untuk urusan kehidupanku, dan tidak baik akibatnya untukku. Maka jauhkanlah hal tersebut dariku, dan palingkanlah aku darinya. Tetapkanlah bagiku KEBAIKAN di manapun aku berada. Dan ridhailah aku dengannya."
Itulah doa setelah shalat istikharah yang diwariskan oleh Rasulullah. Panjang dan indah. Mengharapkan kebaikan sesudah menetapkan pilihan.
Hingga nanti seperti apapun pilihan yang sudah ditetapkan, penyesalan bukan sebuah jalan, tetapi memohon kebaikan atas pilihan itu yang diajarkan. Ya, selalu kebaikan yang kita harapkan dari setiap pilihan diantara ketidakpastian. Karena kita mengerti, yang dipilihkan Tuhan adalah kebaikan.
_________________________________________________________________
Dimanakah langkah kedua dari hasrat hati, O Tuhan?
Rimba keberadaan ini tampaknya hanya seperti jejak kaki.
(Ghalib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar